Sabtu, 31 Januari 2015

Suara kecewa

Sama seperti kebanyakan dari kalian, dulu saya membayangkan negeri ini menjanjikan masa depan yang lebih baik, lebih indah. Hingga sampai saat ini saya masih sangat terpukul karena ternyata pekerjaan yang saya kerjakan adalah pekerjaan kelas kuli, pekerjaan kasar. Bagi saya, keindahan negeri ini hanya bisa saya lihat, bukan untuk dinikmati. Seperti orange, kadang terlihat begitu manis dari luar tapi dalamnya begitu asam. Satu-satunya alasan kenapa saya melakukannya adalah karena mereka harus hidup layak di usia tua, ayah ibuku.

Dan dari itu semua saya belajar banyak hal. Dari rasa kecewa iti sendiri saya belajar bahwa sesuatu hal itu memang harus diperjuangkan, tidak cukup hanya diminta lewat lisan.  Dan dari rasa yang sama, saya juga belajar bahwa seseorang yang pergi dari hidup kita itu bukan karena benci, tapi lebih sering karena kecewa.

Lantas, dari mana rasa kecewa itu ada? Jawabnya diri kita sendiri. Kita mungkin terlalu menaruh harapan pada suatu hal untuk bisa berjalan sesuai yang kita inginkan. Dan ketika semua menjadi berseberangan dengan harapan itu sendiri, rasa kecewa itu muncul ke permukaan. Ya, akan selalu ada kecewa di setiap harapan. So, jalani saja dengan memberi yang the best dari diri kita.



La Tahzan, innallaha ma ana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar