Jumat, 30 Januari 2015

Menjemput Rezeki

"Mencari rezeki, mencari ilmu mengukur jalanan sendirian. Begitu terdengar suara adzan, kembali tersungkur hamba."

Ini adalah sepenggal kisah tentang perjuangan seorang Bapak yang tak pernah menyerah rezeki Tuhannya.

Setengah jam menjelang adzan dzuhur, dari jauh mata saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya. Dari bentuk pikulan yang dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya. Penganan langka yang menjadi jajanan kegemaran saya semasa kecil. Segera saya hampiri dan benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi. Terbuat dari sagu dan kelapa yang setelah dimasak, dibumbui gula merah yang dikentalkan.

Satu yang paling khas dari kue ini, selain bentuknya yang kecil dan murah, penjualnya kebanyakan adalah mereka yang sudah berusia lanjut.
" tiga puluh tahun sudah Bapak jualan kue ini." Akunya pada saya yang tidak hisa menyembunyikan kegembiraan karena bisa menemukan jajanan mssa kecil ini. Sebab sudah sangat langka penjual kue ini. Kalau pun ada, sangat jarang yang masih pakai pikulan dan pemanggang yang menggunakan bara arang sebagai pemanasnya. Tiga jam setelah berkeliling, baru saya lah yang menghentikannya, akunya lagi. "Kenapa Bapak tidak mangkal saja agar tidak lelah berkeliling?. Iba saya sambil menerka usianya yang sudah diatas 50 tahun. " Saya tidak pernah tahu di mana Allah SWT menurunkan rezeki. Jadi saya tidak bisa menunggu di suatu tempat. Dan rezeki itu memang bukan untuk ditunggu, harus dijemput karena rezeki tidak ada yang mengantar." Jawabnya panjang. Dan beruntung saya bisa mendapatkan petuah bijak yang tidak saya minta, tapi sarat makna.

" Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada yang menghitungnya. Dan jika kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tidak menghasilkan apa pun itu, hanya ada dua kemungkinan. Jika tidak Allah SWT mempertemukan kita dengan rezeki di depan sana, biarlah langkah itu menjadi tabungan amal kita di akhirat nanti. Dan satu hal yang pasti bahwa rezeki iti sudah ada yang mengatur dan aturannya jelas, Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya." Lagi kalimat petuah meluncur deras meski parau terdengar suaranya.




" Tapi Bapak kan sudah tua untuk terus tetap memikul dagangan ini?." Pancing saya agar terus keluar untaian hikmahnya. Benarlah saja, ia memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras. " Pundak ini, juga tapak kaki yang pecah ini akan menjadi saksi di akhirat nanti bahwa saya tidak pernah menyerah menjemput rezeki Allah SWT."





Sudah semestinya keluarga, istri dan anak-anak yang dihidupinya dengan kue ini berbangga memiliki penjemput rezeki seperti Bapak ini. Tidak semua orang memiliki bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya kehidupan hanya untuk mencari rezeki yang halal bagi keluarganya. Tidak semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik, deras hujan bahkan tajamnya kerikil hanya untuk membuka harapan esok pagi. Tidak semua orang harus teramat sering menggigit jari menghitung hasil yang kadang sering tidak seimbang dengan deras peluh yang berkali-kali harus dibasuhnya sepanjang perjalanan. Dan Bapak ini, termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu. Yang Allah SWT tidak akan salah menjumlah seluruh langkahnya, yang takkan mungkin lupa menampung setiap peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan sebagai penghapus dosa-dosanya.




Apapun pekerjaan Bapak-bapak kita masing-masing, percayalah bahwa mereka tidak akan pernah menyerah menjemput rezeki Allah SWT untuk kita. Yang mungkin hasil jerih payah itu sering kita habiskan hanya untuk membiayai semua kenakalan-kenakalan kita.
Rasa tanggungjawab dan semangatnya akan tetap menjadi inspirasi tersendiri bagi saya.
" Dan apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntungm" ( Qs. Jumu'ah 10 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar